Nabi Yunus AS diutus oleh Allah untuk berdakwah kepada suatu kaum yang berada di negeri Ninawa dekat Kota Mosul, Irak.
Masyarakat di kota ini menyembah patung-patung yang mereka dianggap sebagai Tuhan. Nabi Yunus mengajak mereka berpikir dan memperhatikan sekitar mereka.
Salah satunya, apakah pantas patung-patung tersebut disembah? Bukankah yang menciptakan alam dan isinya lah yang seharusnya disembah? Nabi Yunus kemudian juga mengajarkan kepada mereka bahwa Allah-lah Tuhan yang harusnya mereka sembah.
Namun, bukan sambutan baik yang Nabi Yunus dapatkan, melainkan penolakan dan ejekan , malah menantang azab yang diberitakan oleh nabi Yunus kepada mereka
setelah menyampaikan ancaman turunnya azab kepada kaumnya, Nabi Yunus ‘alaihissalam kemudian berjalan hingga di sebuah pesisir. Rupanya, kepergian Yunus ‘alaihissalam tanpa seizin Allah. Makanya, Dia menggambarkan sang nabi dengan “melarikan diri,” sebagaimana dilansir Al-Qur’an, “Sesungguhnya Yunus benar-benar salah seorang rasul, (ingatlah) ketika ia lari ke kapal yang penuh muatan,” (QS Ash-Shaffat [37]: 139-140). Meski demikian, Nabi Yunus ‘alaihissalam tentu ridha terhadap segala ketentuan Allah. Ia menyerahkan segala urusan kepada-Nya. Ini artinya, seorang hamba tidak boleh marah atau kesal atas ketentuan Tuhannya. Karena itu, ia pergi meninggalkan kaumnya tanpa seizin Tuhannya. Atas dasar itu pula, Allah melarang Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihissalam menjadi seperti nabi yang pernah ditelan ikan (Nabi Yunus ‘alaihissalam), sebagaimana dinyatakan dalam Al-Qur’an, “Maka bersabarlah kamu (hai Muhammad) terhadap ketetapan Tuhanmu, dan janganlah kamu seperti orang yang berada dalam (perut) ikan ketika ia berdoa sedang ia dalam keadaan marah (kepada kaumnya),”